- Perjalanan Hidup Hingga Sampai Ke Padepokan Sekarjagad
- Ilmu Tertinggi itu Adalah Tata Krama
- Mengenal Ajaran Budi Pekerti Orang Jawa
- Kejawen, Ajaran Jawa Yang Di Kambing Hitamkan
- Tumbal Pesugihan Balita
- Musholla di Tepi Jalan
- Tumbal Pesugihan Blorong
- Pembantaian Pesugihan Siluman Babi Hutan
- Salahkah Profesi Dukun ?
- Cinta Lama Bersemi Kembali di Dalam Gempuran Santet Part 2
Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 10
Berita Populer
- Babad ALas Nangka Dhoyong
- Selasa Kliwon Malam Anggoro Kasih
- Misteri Gunung Wilis
- Metode Pelatihan Paguyuban Sekarjagad
- Dasar Belajar Ghaib Untuk Orang Awam
Berita Terkait
Hampir
saja panembahan turun dari singasana kalau saja "Bisa", sang ratu yang duduk
dengan tegak berwibawa di samping kirinya, entah kapan memegang pergelangan
tangan kirinya yang membuat badannya seolah tidak bisa di gerakkan.
"Nikmati persembahannya kangmas" kata sang ratna sambil mengerling pada suaminya.
Rupanya kanjeng ratu sudah bisa membaca gelagatnya panembahan ketika harus duduk lebih tinggi dari para tamu yg hadir.Kanjeng
adipati berusaha tenang meskipun gelisah, betapa tidak, para tamu yang
duduk di tengah adalah para raja dan ratu dari kerajaan-kerajaan besar, belum lagi
para sesepuh yang berjajar di barisan kanan.Sedang yang sebelah kiri
berjajar panglima-panglima perang yang terlihat garang meskipun menggenakan
pakaian gemerlap.
Panembahan mengangguk hormat sambil
tetap duduk di singasana, terutama setelah matanya bertatapan dengan seorang
resi berjubah putih sederhana, badannya sedang, agak kurus, kulitnya yang
kecoklatan telihat halus dan bersih terkesan lemah dengan senyum yang seolah
tidak terlepas dari wajahnya, matanya teduh dan dalam menenangkan.Ketika
melihat panembahan seperti salah tingkah, senyum beliau semakin lebar dan
sekali lagi beliau mengangguk hormat.Ya, beliau adalah Eyang Sapujagad
dari gunung Merapi yang selama ini termasuk sesepuh yang banyak memberi petuah
dan wejangan, bahkan dalam mengambil keputusan penting tidak jarang
Panembahan naik ke Merapi untuk mohon saran beliau, berkat kepekaan mata
bathin beliau maka segala keputusan bisa diterima baik oleh rakyat
Mataram.
Kanjeng ratu seolah-olah tidak memperhatikan, pandangannya mengarah ke arah para penari gambyong yang melenggok dengan gemulainya, sang ratu seolah membiarkan panembahan menyesuaikan diri dengan posisinya sekarang di hadapan para tamu.Telapak tangan kanan sang ratu masih menggenggan pergelangan kiri panembahan, sepertinya belum sepenuhnya percaya kalau sang raja tidak turun dari singasana, setidaknya setelah mengenal semua para tamu.
Disebelah kanan Eyang Sapu Jagad duduk tegak membusungkan dada adalah Eyang Lawu, tubuhnya yang tinggi besar, dengan cambang yang tebal terlihat sangat berwibawa, sorot matanya tajam seolah menjenguk isi hati, kalau tidak meniatkan diri, panembahan bisa beringsut surut dari singasana.Eyang Lawu selama ini selalu hadir setiap kali panembahan risau atau sedang ada permasalahan.Tutur katanya berat dan tegas saat memberikan teguran atau memberikan salam. Dibawah bimbingan beliau maka Mataran menjadi kerajaan yang kuat dan disegani meskipun bukan kerajaan besar.Kalau saja tangannya bebas, niscaya panembahan sudah melakukan puja dengan menangkupkan kedua tangannya.Panembahan menjadi lega ketika bertatapan mata dengan Sunan Lawu, tidak ada teguran sebagaimana bila melakukan kesalahan, dengan begitu manandakan apa yang telah di lakukan memperoleh restu beliau.
Setelah degub jantung Panembahan mulai tenang, genggaman sang dewi pada pergelangan tangannya mulai longgar dan selanjutnya terlepas.Setelah menarik nafas dalam-dalam, panembahan mulai melihat tamu yang duduk rapi di barisan tengah, di tepi adalah seorang pria muda, tubuhnya tinggi agak kurus, namun duduknya tegak dan kokoh, meski muda ternyata sang pangeran sudah dikirim untuk perhelatan agung ini, pangeran Lodaya dari wilayah perbatasan wetan.Di sebelahnya, seorang kakek tua berjubah putih, Panembahan tidak bisa cukup mengangguk tapi juga sambil menangkupkan kedua tangannya, Eyang Kumitir penguasa gunung Kelud juga membalas dengan cara yang sama, di sebelahnya ada seorang wanita tua, dengan dandanan sederhana, tongkat hitamnya di taruh disamping kirinya, beliau penguasa gunung Wilis. duduk dengan anggun di sebelahnya duduk dengan anggun Ratu Kuwu, penguasa alas roban, penguasa pacitan dan penguasa-penguasa tlatah Jawa baik kerajaan manusia maupun kerajaan ghaib pada hadir, ada satu yang tidak hadir dari Jawa bagian barat.
Alunan gamelan
rancak mengiringi gerak tari badaya yang di lakukan oleh para putri yang
cantik, tubuh mereka seolah bersinar gemerlap dengan pancaran cahaya kuning
dari hasil puasa 7 hari sebelum pentas dengan hanya menelan 1 kuntum kembang
gading kuning tiap tengah malam, tidak heran bila selain cahaya kulitnya
yang indah, juga semerbak harum tubuhnya seolah menyebar ke seluruh
balirung.Dibarisan sebelah kiri, terlihat pria wanita
dengan pakaian perang yang gagah, paling kanan dengan jubah perang berwarna hitam
dengan hiasan kuning, segera menunduk dalam-dalam ketika panembahan mengamatinya.
"Itu Naga Permoni kanda, panglima perang yang bertugas di pesisir Pacitan
sampai Parangtritis" kata sang ratu selama ditanya.
"Bukankah sosoknya naga yayi" tanya panembahan.
"Benar kanda, itulah wujudnya saat bertugas" Panembahan mengangguk mengerti.
"Jadi mereka semua berwujud naga?"
"Ya, sebagian besar namun ada juga yang berwujud buaya, kura-kura, hiu, ular, kelabang dll". kembali Panembahan mengangguk ngangguk.
"Luar
biasa kekuatan istana selatan, sehingga hampir semua penguasa segan.
bahkan ada penguasa dari Sumatra sampai Selat Malaka yang hadir" kata hati
kanjeng panembahan.
Suasana
sakral itu seolah-olah terusik oleh suara gaduh di luar, orang-orang yang sedang
menikmati aneka hiburan di alun-alun berdesak-desakan menuju jalan yang mengarah ke
balirung tersebut, sambil tak henti-henti mengucap salam sapa sehingga terdengar
riuh.Gamelan yang tadinya mengalun lembut
mulai terdengar rancak, nadanya riang dan semarak. Panembahan yang tidak
memahami apa yang terjadi hanya menuruti saja ketika sang dewi menuntunnya
turun dari singasana dan membimbingnya berdiri, ternyata para sesepuh yang
duduk disebalah kanan juga sudah pada berdiri, yang diikuti oleh para tamu
undangan sambil saling bertanya "siapa yang hadir", namun sepertinya hanya
beberapa tokoh tua yang menangkap gelombang energi halus sejuk itu.
"Sugeng
rawuh Ki Lurah" sapa Naga Gini yang entah sejak kapan sudah meninggalkan
tempat duduknya sehingga sudah di depan gedung menyambut tamu yang hadir,
kalimatnya halus namun sangat dalam sehingga seluruh yang ada dalam ruang
balirung bisa mendengarnya dan mulai faham kenapa semuanya berdiri siap-siap
memberi sambutan penghormatan, hampir semua bibir tersenyum, bakan
Kanjeng Panembahan Senapati sampai merapikan kainnya.Hanya Kanjeng ratu yang tetap terlihat tenang, namun tidak bisa menutupi binar di matanya.
Suara
tawa khas yang di mengerti hampir semua yang hadir terdengar di seluruh
ruangan besar itu, lembut namun seolah memaksa semua yang mendengarnya
mentup mulut.Sosok bertubuh tambun terlihat memasuki pintu, ternyata lebih tinggi dari kebanyakan orang, pakainnya
sederhana, pakai kain dan stagen hitam, rompinya terbuka hingga
terlihat susunya yang menggantung seperti wanita, kulitnya putih bersih bahkan
sang dewi sepertinya harus ngiri dengan cerahnya kulit sosok tersebut.
"Maaf
saya terlambat, biasa, anak-anak saya kalau ada keramaian tidak bisa menahan
diri mencicipi jajanan" kata beliau sambil membungkuk hormat pada
mempelai berdua dan kepada semua tamu, setelah itu dengan enaknya duduk
bersimpuh di antara para panglima, seolah semua hadirin faham perilaku
beliau, percuma meminta duduk di tempat kehormatan.
"Ki lurah memang kami nantikan sehingga acara belum di mulai" kata Gusti Ratu yang tahu kalau beliau tidak perlu istirahat, karena tidak pernah capek, juga tidak perlu ditunggu menikmati hidangan karena memang tidak pernah lapar."Masih ada satu lagi yang belum hadir" kata beliau setelah mengedarkan pandangan kepada hadirin, seolah belum selesai bicara, beliau berdiri dan memandang ke arah pintu masuk, seperti isyarat semuanya ikut berdiri, tak lama berselang masuk sosok lelaki tua, usianya sekitar 70th, jubahnya putih panjang menutupi kakinya, jalannya tidak terlihat hingga seolah bergeser, begitu juga tongkatnya, ruang balirung tiba-tiba senyap, hadirin seolah menahan nafas sambil memandang dengan takjub sosok lelaki tua tersebut, tubuhnya sedang saja, bahkan cenderung agak kurus, kulirnya bersih, kumis dan jenggotnya panjang sampai dada, pakai sorban putih di lilitkan rapi.
Bersambung ke Oleh Oleh Padepokan Klampis ireng Part 11