Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 9
By Paguyuban Sekarjagad Pada : 26 Feb 2016, 16:53:09 WIB, - Kategori : Gaib & Spiritual
Dengan
penuh kasih, Panembahan membimbing sang Dewi untuk duduk di
pangkuannya. Ditatapnya putri rupawan itu lekat-lekat seolah baru pertama
melihatnya. Sang Dewi yang diamati berdebar hatinya, tidak terasa air mata
menggenang di pelupuk matanya.
"Yayi...," belum
selesai panembahan melanjutkan katanya, Sang Dewi sudah tidak dapat
membendung perasaannya, segera turun dari pangkuan dan besujud dihadapan
sang Panembahan.
"Hari ini akhirnya datang juga Yayi,
entah berapa hari aku meninggalkan keraton, pencarianku sudah berakhir
dengan ku temukan engkau disini. Sekarang, mari ke Mataram,
menemaniku sampai akhir hayat."
"Mohon maaf hamba tidak
bisa Kangmas," jawabnya di sela isak yang tertahan. Panembahan tidak sampai
hati melanjutkan perkataannya, perlahan diberdirikannya sang Ratu, lalu
di bimbingnya keluar puri menuju taman yang sangat indah dan megah.
"Banyak
petunjuk Yayi yang selalu aku ingat dalam olah kepemimpinan." Selama
tujuh hari tujuh malam, Panembahan Senapati bercengkrama dengan Kanjeng
Ratu Kidul, dan selama itu pula beliau masih juga sempat menerima
tuntunan dari Kanjeng Ratu tentang tata pemerintahan yang baik yang
harus dilaksanakan oleh Sang Panembahan di Mataram. Di wejanglah Sang
Panembahan tentang tata cara menjadi raja, yang dapat memimpin semua
makhluk, baik jenis manusia dan makhluk sebangsa lelembut.
"Kangmas hendak bergegas ke mataram, apakah karena ada putri yang menantikan?"
Sambil
tersenyum dan mempererat pelukan Panembahan menjawab, "Yayi yayi, apa
yang tidak kau ketahui, lobang semut seantero Mataram pun bisa kau ketahui
jumlahnya, apalagi seorang putri," mau tidak mau Kanjeng Ratu tersenyum
juga sambil mencubit pinggang sang kekasih hati. Memang, apa yang tidak
bisa diketahuinya, bahkan pasukan siluman jin prayangan sudah menyusup
kesemua sudut Mataram untuk menjaga selama Panembahan berada di selatan. Namun dengan demikian, tidak mungkin lagi bisa mempertahankan suaminya
untuk tinggal lebih lama.
"Kepergianku tak ada yang
mengetahui Yayi, setelah sekian lama, pastilah seluruh rakyat Mataram
cemas karena tidak ada kabar berita dariku," sang Putri Dewi
mendengarkannya sambil mengeraskan hati. Tidak berguna juga andai dia
menangis.
"Panembahan Senapati, wong agung dari Mataram
suami hamba, tidaklah mungkin hamba memisahkan Kangmas dari rakyat
Mataram, tidak mungkin juga keraton Kidul berpisah dengan Panembahan." Panembahan agak terkejut dengan apa yang barusan di ucapkan permaisurinya,
dilepaskannya sang dewi dari pelukan, dipegangnya kedua pundak sang
Ratna.
"Gusti Panembahan tetap akan menjadi Raja Mataram
dan Raja di Kerajaan Pantai Selatan, untuk saat ini dan selamanya,"
kata-kata sang dewi begitu tegas, tidak dapat di tolak tidak bisa disangkal.
"Baiklah
Yayi, aku menyanggupi apa yang kau inginkan," mendengar itu sekali lagi
Kanjeng Ratu bersujud kepada Panembahan sebagai tanda bakti istri kepada
suami.
"Berdirilah Yayi," lalu mereka
kembali berjalan ke puri, irama gamelan yang tadinya seolah lenyap kembali
terdengar mengalun, di dalam puri ternyata telah terhidang berbagai
makanan dan minuman yang masih hangat. "Kalian keluarlah, biarlah aku yang melayani beliau," maka para dayang pun bergegas keluar dari dalam puri.
"Betapa
bahagianya aku, memiliki istri yang sangat sempurna, cantik bak
bidadari, baik budi pekertinya, halus tutur bahasanya, luas wawasannya,
punya kekayaan tak terkira, sakti madraguna, kalau saja aku lelaki
biasa...," belum sempat panembahan melanjutkan
katanya sudah terputus oleh suapan makanan penutup yang disodorkan sang
permaisuri, seolah tak ingin mendengar kelanjutan kalimat sang
Panembahan.
"Sesempurna apapun, akan tetap di tinggal
sendiri di dasar samudera yang dingin ini," kata sang Ratna sambil terus
menyuapi sang Panembahan yang tidak mampu menjawab, melihat junjungannya
sedikit berduka, sang dewi tidak tega untuk terus menggoda.
"Suamiku,
Rajaku, Junjunganku, kekasih hatiku, ini memang sudah menjadi suratan
takdir, beberapa hari di temani baginda, cukup membuat hidup hamba
bahagia untuk selamanya. Baginda memang harus kembali ke Mataram yang baru
berkembang dan memimpinnya untuk menjadi kerajaan yang besar," suara sang
dewi tetap halus namun setiap detailnya terdengar sangat jelas seolah
tertancap di hati.
"Yayi benar-benar tidak bisa mendampingiku dan tinggal di istana Mataram yang sederhana?"
"Sudah
menjadi tanggung jawab hamba untuk menjaga kelestarian istana selatan
Kanda. Bukankah tempat tinggal hamba hanya selangkah dari bumi Mataram?
Apa yang terjadi di sana tidak akan terlepas dari pengamatan hamba
Kanjeng."
"Ya, usiamu akan lama sekali, tidak seperti aku yang sebentar lagi tua dan mati."
"Bagi
rakyat Mataram mungkin demikian, namun bagi rakyat selatan Panembahan
tidak pernah mati seperti halnya kita yang tidak akan terpisahkan,
seperti halnya Mataram yang akan tetap jaya, selama kraton selatan masih
ada," Panembahan tidak bisa menahan rasa harunya, di genggamnya erat-erat
jemari sang dewi.
"Bagaimana aku berterima-kasih?," kata panembahan tercekat.
"Baginda
segalanya bagi hamba, juga bagi seluruh rakyat istana selatan. Begitu
juga Mataram bagi kami, sepeninggal baginda kelak dari tlatah Mataram,
kami akan tetap setia mendampingi dan mengawal tahta Mataram, begitu
juga yang akan kami lakukan terhadap penerus baginda." Janji setia Ratu
Pantai Selatan itu ternyata bergaung ke seantero samudera, membuat
gulungan ombak besar yang dahsyat seolah akan menenggelamkan siapapun
yang akan mengusik Mataram.
Tanpa
di sadari waktu berlalu begitu cepat. "Marilah junjungan hamba, Raja
hamba, kekasih hati hamba, suami hamba sampai akhir dunia, mari dinda
antar Kanda ke tepi," suara halus sang dewi seolah mengembalikan sukma
Gusti Panembahan Senapati, yang seolah berat sekali beranjak dari peraduan di puri istana selatan. Setelah sejenak mengheningkan cipta disusul dengan tarikan nafas yang panjang, dengan segera Panembahan berdiri dengan gagah. Busananya
yang berhiasan emas intan permata berkilat-kilat memancarkan kharisma dan
pesona yang membuat sang dewi lututnya serasa lemas. Namun dengan menguatkan
diri, beliaupun bergegas berdiri tegak.
Setelah
merapikan pakaian sang raja, maka sesaat kemudian beberapa danyang yang cantik
menyeruak masuk dengan cepat. Namun tanpa bersuara sedikitpun, merapikan
busana sang Ratu, menarik jaritnya lurus ke belakang dan mengembangkan
ke empat selendang kuning hijau. Maka mereka laksana sepasang dewa-dewi
yang sangat sempurna. Bunyi gamelan mulai merambat cepat,
harum kembang semakin semerbak, asap dupa semakin tebal ketika mereka
mulai melangkah keluar dari puri. Para danyang dan
pengawal istana yang membungkuk dalam-dalam saat mereka lewat, tidak bisa
menyembunyikan keinginannya untuk melirik pasangan tersebut walau
selintas, lalu mendesah dan menggeleng-nggelengkan kepala. "Pasangan luar biasa
serasinya, sangat menawan dan menggetarkan hati siapapun yang
melihatnya. Namun sayang, takdir tidak berpihak pada beliau berdua," kata hati mereka hampir sama, itulah yang membuat mereka membungkuk
semakin dalam.
Tiba-tiba
Panembahan menghentikan langkahnya, di ikuti oleh sang dewi dan para
gendang, bahkan juru tabuh sesaat menghentikan langgamnya. Namun tidak lama
gending halus kembali terdengar merambat ke seantero istana. Panembahan masih berdiri diam. "Duhai istana yang
indah," gumam lirih Panembahan yang hanya didengar oleh Kanjeng Ratu ygan
berdiri disampingnya, dia merasakan genggaman Panembahan sedikit keras.
"Adakah yang merisaukan hati gusti Panembahan junjungan hamba?," tanya sang dewi dengan nada sama pelannya.
"Aku
melihat perbedaan antara di sebelah istana kiri dengan sebelah kanan," kata
beliau sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, memang iring-iringan sedang melalui
koridor memanjang sehingga pemandangan samping istana kelihatan.
"Apakah baginda ingin melihat kesana?," dan Panembahan pun mengangguk.
Maka
sang dewi membimbing maju beberapa langkah, disitu ada simpang empat, lurus
ke utara atau ke pendapa, yang kiri ada gerbang dari emas merah dan
sebelah kanan ada gerbang emas kuning. Masing-masing dijaga
oleh pengawal wanita dan di depannya bersimpuh hormat wanita-wanita cantik dengan
kemben hijau bersulam benang emas dan menggenakan selendang kuning
merah. Ketika beliau berdua mengarahkan pandangan kesitu, semuanya
menunduk makin dalam seolah ingin menenggelamkan diri dalam lantai.
Sang
Ratna melihat kerutan kecil sang Panembahan. "Mereka itulah para nyai yang
ada di istana barat Kanda, ada blorong, roro, pandan suri, swasti, ragas
wati, mantrihasti dan masih banyak lagi," ucap sang Ratu mulai
memperkenalkan mereka. Panembahan Sanopati tidak
melanjutkan langkahnya ke kiri, lalu berbalik meliahat ke kanan, kali
ini panembahan yang menggandeng sang putri untuk mengikuti. Disinipun
hampir sama, yang membedakan selain warna kuning pada pintu gerbangnya,
juga pakaian putri-putri yang bersimpuh di kiri kanan jalan selendangnya hijau
kuning, saat raja dan ratu mendekat, seperti yang lain, mereka seolah
ingin menunjukkan hormatnya dengan merunduk dalam-dalam sehingga seolah rata dengan
lantai.
"Panembahan ingin melihat istana wetan?," tanya lembut sang ratna melihat ekspresi cerah kekasihnya itu. Panembahan
hanya menggeleng sambil tersenyum mengerti. "Mari kita ke balairung
baginda, beberapa tamu sudah menunggu," kata sang dewi yang di ikuti Panembahan
tanpa bertanya apa-apa lagi. Sebuah ruangan besar berbentuk
lingkaran, atapnya tinggi sekali seolah menyentuh langit, dindingnya dari
pualam putih mutiara, ornamennya rumit berwarna emas. Mereka berdua
langsung menuju singgasana yang letaknya agak tinggi dan setelah duduk, barulah yang hadir menegakkan badan dan duduk pula dengan tegak. Beralaskan
bantal kain bludru merah berenda kuning emas. Agak terkejut juga sang Panembahan melihat siapa saja yang sudah hadir.
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 10